Pengarang : Nita larasati

“Gimana yo?”
“Ya.. gue nggak ngerti juga ya kak. Tapi setau gue..”
Samar-samar aku mendengar dua suara itu berbincang sedari tadi. Aku yang semula berniat memejamkan mata setelah memanfaatkan sajadah sebagai alas kepala dan rebah di samping kak Iyo, lelaki satu-satunya yang ada disana. Ya, kami berempat sedang tidak di rumah masing-masing. Kami terlibat kepanitiaan suatu acara. Dan saat ini, kami merebahkan tubuh di lantai aula sebuah sekolah dasar islam.
Percakapan mereka entah mengapa menarikku untuk turut kedalamnya, meskipun aku tak mengerti betul perihal apa yang dibicarakan. Tapi
aku mampu mampu membaca kegelisahan dari wajah kakakku yang bulat. Aku lelah pura-pura berkutat dengan ponsel yang tidak ada apa-apanya. Tidak seperti satu adikku yang manis, yang rebah disampingku, yang memang benar-benar nyata sibuk dengan kehidupan maya-nya.
aku mampu mampu membaca kegelisahan dari wajah kakakku yang bulat. Aku lelah pura-pura berkutat dengan ponsel yang tidak ada apa-apanya. Tidak seperti satu adikku yang manis, yang rebah disampingku, yang memang benar-benar nyata sibuk dengan kehidupan maya-nya.
Diam-diam aku mendengarkan pembicaraan mereka, kak Iyo dan Kak Yuni.
“Ikutan dong kak. Lagi bahas apa sih?” ucapku pura-pura tak mengerti.
“...harusnya dia punya arah dong mau kemana. Apalagi kakak kan udah lama tuh sama dia.”
“Kamu nggak jadi tidur det? Udah sana tidur aja.”
“Eh iya, anak kecil tidur aja sana,” tambah kak Iyo, “nggak usah ikut-ikutan”, candanya.
“Belom bisa kak..” sahutku.
“Nah, itu yang gue bingung yo.”
“Bahas apa sih kak?” tanyaku.
“Kak nyun nih.”
Kak Yuni buka suara, “Kakak lagi bingung Det. Bingung sama pacar kakak. Kita seakan nggak ada tujuan.”
“Kakak udah berapa lama sama dia?”
“Hampir dua tahun deh.”
“Wah lama ya...”
Kak Iyo yang merasa terasingkan tiba-tiba merebut handphone-ku. Aku tersentak, “mau ngapain kak?”
“Pinjeem..”
“...”
“Kenapa? Ada yang rahasia? Yaudah niiih hapus dulu,” tangannya menyodorkan ponselku kembali.
“Ah enggak kok, kak.” Kuserahkan kembali ponselku. Kami memang dekat. Aku menganggapnya sebagai kakak, maklum aku anak pertama yang tidak pernah merasakan disayang oleh kakak laki-laki. Namun, entah apa ini namanya, aku merasa aneh. Aku abaikan.
Aku kembali menanggapi masalah kak Yuni, “kak, kok kakak sampe dipikirin seribet itu ya?
“Hari ini adalah masa depan, Det. Harus bisa berpikir dewasa, juga mampu memikirkan yang terbaik; masa depan. Kalo hari ini aja tanpa arah, mau kemana besok-besok.”
“Tapi kan kakak masih pacaran.”
“Justru itu, sayang.”
“Tuh kan anak kecil ikutan aja sih.” Lagi-lagi kak Iyo meledekku. Biar saja. Mungkin dimatanya aku masih anak kecil. Tapi, aku mengerti. Aku paham rasanya disayangi dan menyayangi. Aku merasakan rindu dan dirindu. Aku tahu rasanya mengagumi.
Aku hanya berusaha berfikir sesederhana mungkin. Belum berniat membebani pikiranku dengan masalah ini. Masih banyak yang harus menjadi fokusku, kuliah misalnya.
“Tapi kok saya nggak pernah berfikir serumit itu ya kak? Saya pacaran sudah satu tahun. Tapi, ya.. begitu aja, jalani apa yang ada aja dulu. Belum berpikir jauh.”
“Itu karena kamu belum sampai di titik pemikiran seperti kakak. Nanti kamu pasti merasakan kok. Semua bertahap, ada waktunya.” Kata kak Yuni.
“Lagipula kamu masih sesaat. Belum benar-benar cinta. Usia kamu ini masih labil.” Tambah kak Iyo.
Ini kenapa jadi aku yang dihakimi?
‘Tapi aku sudah merasakannya kak. Semua rasa itu.’ Ingin rasanya aku berontak, tapi aku memilih diam. Meresapi perkataan kedua kakakku itu.
“Memang harus ya kak?” aku memilih bertanya.
“Enggak. Tapi kamu pasti akan merasakannya.”
“Suatu saat.”
Aku terdiam.
Tiba-tiba aku teringat tentang diriku.. dan dia. Seseorang yang telah menyita perasaanku sekalipun kagumku bukan miliknya. Satu tahun lewat kami bersama, bukan waktu yang singkat. Menjalani apa adanya, selayaknya pasangan-pasangan yang lain. Namun bedanya, kami lebih sederhana, membiarkan waktu merajut kisah kebersamaan kami ini.
Tapi...
Ah!
Bayangan kak Iyo menghampiri hayalku. Kalimat-kalimatnya beberapa bulan lalu singgah lagi. Setau saya, backstreet itu cuma buat mereka yang takut sama orang tua, terlalu jadi anak mama, atau nggak berani bertanggung jawab. Cupu banget kalo masih ada cowok yang pacarannya backstreet, itu sama aja artinya dia belom siap punya pacar. Nah, kalo gitu buat apa pacaran?! Begitu katanya. Olala... miris.
Kurang lebih, kisahku seperti kalimat-kalimat kak Iyo dan kebingungan kak Yuni. Bukannya lari dari kenyataan, aku hanya tidak ingin menjadikannya rumit. Maka aku berfikir untuk membuatnya sesederhana mungkin yang aku mampu. Jika boleh jujur, akupun sering bertanya pada diriku sendiri; Where is this going? No where...
Posting Komentar